Saya ingat, malam itu saya tengah ada di kantor untuk merampungkan beberapa bekas kerjaan. Sebentar lagi bakal libur musim panas sepanjang lebih kurang 2 minggu, jadi saya tidak mau berlibur saya terganggu oleh fikiran mengenai kerjaan yang belum kelar. Sebagian yang berpamitan serta mengatakan happy holidays cuma saya jawab dengan senyum manis serta jawaban pendek “You too! ” di sela-sela aktivitas saya menghadap ke monitor monitor.
Semuanya berjalan demikian saja, hingga pada akhirnya di kantor kecil itu cuma ada saya, sebagian penjaga malam, serta si yang memiliki kantor, sebut saja namanya Pak Smith. Agak lama lalu, saya mendengar ribut-ribut di lantai bawah, nada orang membentak, nada kegaduhan serta banyak lagi. Saya terasa agak takut serta mengintip dari jendela ke arah jalanan dibawah sana. Tampak satu mobil elegan berwarna hitam tengah terparkir di depan kantor. Celaka! Fikir saya. Itu tentu segerombolan preman kasar pegawai perusahaan Italia yang menagih duit keamanan. Betul-betul menyebalkan sekali, lantaran penyebabnya ketidakamanan itu yaitu mereka sendiri. Namun bila kantor-kantor kecil seperti kantor saya ini telat membayar tagihan, mereka bakal lakukan beberapa hal yang di luar perikemanusiaan.
Saya membulatkan tekad menuruni tangga untuk mengintip apa yang berlangsung di ruangan bawah. Saya saksikan boss saya, Pak Smith tengah mengkalkulasi beberapa duit dengan tangan gemetar. Dihadapannya, terlihat dua orang pria bertubuh tinggi besar. Yang satu berkulit hitam legam serta berkepala gundul, sesaat yang satunya lagi wajahnya ganteng khas Italia, tetapi tampangnya juga terlihat seram waktu itu, dengan memasukkan tangan ke kantong, yang mungkin saja saja ada pistolnya. Tetapi ada seorang lagi berbarengan dua orang centeng itu. Seseorang wanita berkebangsaan Asia yang kurus tinggi kenakan pakaian mahal. Sesungguhnya ia cantik dibalik kaca mata biru yang dipakainya, tetapi stylenya berdiri di depan Pak Smith sembari berkacak pinggang itu betul-betul menjengkelkan serta menakutkan.
“Ivon! Tolong ambilkan dua puluh pound dari ruangmu! ” mendadak Pak Smith memekik lantaran duit yang perlu dibayarnya agak kurang.
Dengan tergopoh-gopoh saya lari ke kantor saya, mengambil dua puluh pound dari laci, lantas lari kembali menuruni tangga.
“Berikan segera pada mereka! ” tutur Pak Smith yang masihlah berdiri dengan gemetaran.
Saya menyodorkan dua lembar sepuluh pound itu ke arah mereka, serta si wanita Asia segera menyambarnya dari tangan saya.
Tak tahu mengapa, namun wanita itu tak selekasnya mengalihkan pandangannya, ia memandang saya dari balik kaca mata birunya. Mungkin saja lantaran kurang senang, ia melepas kacamatanya, serta selalu memandang saya. Sepasang mata paling mengerikan serta paling tajam yang pernah saya saksikan selama hidup saya. Saya cuma diam terpaku sembari mengambil langkah mundur perlahan-lahan.
“Jangan mundur! ” bentak wanita itu dengan dialek British yang kental.
Ia lantas mendekatkan berwajah ke muka saya, bikin saya menundukkan pandangan lantaran gemetar.
“Lihat ke arah saya! ” bentaknya lagi, masihlah dengan bhs Inggris beraksen British yang begitu kental.
Saya lihat ke arah matanya, serta sepasang mata itu tak akan setajam tadi.
Ia menunjuk name-tag di dada saya serta berkata, “Ivon. Hmm, Indonesian name, isn’t it? ” tanyanya lagi, dengan suara datar.
“Y-Yes, It is. ” jawab saya agak terbata-bata, cemas bebrapa bila ia menyakiti saya.
Pak Smith juga tidak kuasa lakukan apa-apa untuk membantu saya, lantaran dua orang preman tinggi besar itu memerhatikannya selalu.
“Kalau gitu, potongan harga sepuluh pound deh! ” tutur wanita Asia itu, betul-betul dengan bhs Indonesia yang fasih serta lancar.
Ia menyodorkan pada saya lembaran sepuluh pound yang tadi saya berikanlah kepadanya, dengan agak gemetar saya menerimanya.
Wanita itu tersenyum dingin, serta berkata lirih, “Maaf Ivon, saya hanya kerjakan pekerjaan, untuk keselamatanku sendiri. ”
Lantas ia berpaling ke arah dua rekannya sembari berikan kode mengajak pergi. Pak Smith serta saya cuma diam terpaku lihat ketiga manusia sangar itu meninggalkan ruang serta membanting pintu dengan keras. Sesaat sebelumnya tutup pintu, si wanita pernah melirik ke arah saya serta mengerdipkan mata kanannya, seakan memberi satu isyarat yang saya tak pernah tahu.
Sesudah malam yang menegangkan itu selesai, berlibur tiba, serta semua jalan bebrapa umum saja. Saya pergi ke Paris berbarengan keluarga saya sepanjang satu minggu, lantas kembali pada London untuk menggunakan bekas berlibur disini. Rasa-rasanya, saya telah lupa bakal peristiwa dengan beberapa debt collector satu minggu terlebih dulu. Tetapi apa yang berlangsung siang ini seperti bikin saya mustahil melupakan peristiwa malam itu.
Waktu itu saya tengah temani tante serta om saya dari Indonesia berkunjung ke museum Madame Tussaud. Selesai melihat-lihat patung lilin di museum itu, tante serta om saya naik kereta kembali pada hotel mereka, sesaat saya masihlah jalan-jalan di Bakerstreet (tempat museum tadi ada), lantaran banyak rekan asal Indoneisa yang bermalam di apartemen-apartemen sekitaran situ.
Saat saya tengah jalan cepat di trotoar, saya terasa ada yang jalan di samping kiri saya dengan kecepatan yang sama. Saya tidaklah terlalu memperdulikan, serta mempercepat jalan saya, tetapi ia juga mempercepat jalannya sampai selalu sejajar dengan saya.
Mendadak ia mencolek bahu saya, “Hi Ivon, lupa sama saya ya? ” sapanya dengan bhs Indonesia.
Saya menengok ke arahnya serta kaget 1/2 mati. Wanita Asia yang kerja untuk Mafia itu! Saya pernah punya niat kabur, tetapi ia memegangi lengan saya. “Hey, janganlah kabur dong! ” katanya ramah, walau mengenggam kuat lengan saya. Pada akhirnya saya pasrah saja diajaknya minum di satu kafe tepi jalan.
Saya waswas lihat ke kiri kanan, bebrapa bila dia ditemani dua orang centengnya kemarin. Namun ia terlihat tenang saja sembari tertawa-tawa menyampaikan kalau dia tengah di luar jam kerja.
Singkat narasi, kami mengobrol panjang lebar di kafe itu. Makin lama, rasa takut saya mulai hilang, beralih jadi rasa persahabatan. Maklum, di negeri orang, siapa saja yang sebangsa dengan kita bakal jadi teman dekat yang begitu baik, siapa saja dia.
Namanya, sebut saja Jenny. Ia bercerita histori kehadirannya ke Inggris untuk merampungkan S2-nya, juga mengenai keterlibatannya dengan beberapa Mafia itu, yang karena sebab ia tengah kesusahan ekonomi. Ia merencanakan untuk menyatukan duit dahulu sebelumnya meninggalkan Inggris. Ia bercita-cita untuk pulang ke Indonesia, serta bekerja memakai gelar MBA-nya sepanjang satu tahun lebih, lantas buka usaha sendiri berbekal pengalaman serta manajemen Italia yang dipelajarinya di lingkungan Mafia ini. Saya bersimpati kepadanya, sekalian kagum pada keberaniannya menceburkan diri ke lingkaran yang demikian ‘hitam’ serta beresiko itu.
“Kamu tidak miliki boyfriend kan? ” tebak Jenny di sela percakapan.
“Kok kamu paham.kamu mengerti? ” bertanya saya balik.
“Old Fashioned serta pendiam, bila tidak dijodohin tidak mungkin bisa pacar? ” tuturnya sembari tertawa kecil. Saya tersipu malu, mengerti kalau ‘tongkrongan’ saya memanglah berkesan tertutup, saya juga pendiam serta sedikit bicara. Lain dengan Jenny yang nampaknya ceplas-ceplos serta tak kenal takut atau malu. Dia bisa berkelakar dalam bhs Indonesia ataupun Inggris dengan begitu lancar, bahkan juga dengan beberapa waiter di kafe itu, yang barusan dikenalnya. Diam-diam, saya bersukur bisa berteman dengan seseorang ‘putri mafia’ (nama ejekan saya untuk dia) seperti dia ini.
Tanpa ada merasa hari mulai malam, serta Jenny mengajak saya meninggalkan kafe. Lantaran apartemen saya agak jauh, ia merekomendasikan saya untuk tinggal di apartemennya. Saya menurut saja lantaran telah terlanjur yakin. Ia mengajak saya jalan kaki melalui berjalan-jalan yang saya belum pernah lalui, beberapa daerah lampu merah, daerah kumuh, serta daerah pusat hiburan malam. Betul-betul segi lain dari London yg tidak pernah saya saksikan, walau saya telah menetap di sini sepanjang 3 th.. “Nggak usah takut, Von. ” tuturnya sembari mengambil langkah cepat, “Kita aman di daerah sini. ” Saya berupaya untuk tetaplah tenang, walau di kiri kanan saya lihat pria-pria bertubuh besar tengah mabuk atau teler lantaran narkoba. Wanita-wanita jalang juga terlihat berkeliaran di daerah yang saya tidak paham namanya itu. Tetapi Jenny jalan dengan cuek, sembari sesekali menegur orang di sekitaran situ dengan akrab. Saya pernah heran, orang jenis apa sesungguhnya rekan saya ini.
Pada akhirnya kami hingga di apartemennya. Satu apartemen yang dari luar terlihat kumuh serta buruk. Tetapi demikian saya masuk ke kamarnya, semua merasa tidak sama. Walau tak besar, ruangnya teratur rapi serta dipenuhi perlengkapan kelas menengah, penghangat listrik, seperangkat laptop, juga hp (yang pada th. itu belum demikian popular). Satu hal yang bikin saya bergidik yaitu sepucuk pistol kecil berwarna perak tergeletak di samping hpnya. Ia mempersilakan saya duduk di ranjang, lantas membikinkan saya satu gelas teh hangat. Darjeeling tea, teh yang termasuk mahal. Saat saya ajukan pertanyaan mengenai teh itu, Jenny menjawab kalau teh itu diambilnya dari satu hotel kecil tempat ia menagih hutang. Tanpa ada rasa risih, Jenny menanggalkan celana panjang serta raincoat-nya. Sembari cuma kenakan kaos oblong serta celana dalam, ia mondar mandir di situ. Membersihkan muka, sikat gigi, serta menyisir rambut, seakan-akan sangatlah akrab dengan saya. Diam-diam saya iri lihat badannya yang ramping serta cukup jangkung untuk ukuran Indo, begitu menarik. Saya sangka akan tidak ada pria maupun wanita yg tidak mengambil pandang ke arahnya waktu ada ditempat umum.
“Ngeliatin apa, Von? ” tanyanya bikin saya tersipu.
“Ngeliatin tubuh anda. ” jawab saya coba tidak untuk malu, “Bagus banget. ”
“Hihihi. ” ia tertawa kecil, “Kamu juga sexy kok. ”
Selalu jelas, saya kege-eran juga mendengar pujiannya. Terlebih sesudah ia menyampaikan itu, ia memandang saya dalam-dalam sembari menyunggingkan senyum aneh. Ia lantas mengambil langkah mendekati saya. Saya terpaku di bibir ranjang sembari memegangi cangkir teh yang telah kosong, seakan tidak paham mesti berbuat apa. Dengan kuatir saya melirik ke arah buffet tempat pistolnya ada, serta terasa agak tenang lantaran pistol itu masihlah ada di situ. Mendadak dia telah ada dihadapan saya.
“Mana gelasnya? ” bisiknya sembari mencapai cangkir dari tangan saya serta menempatkannya di karpet.
“Kamu manis sekali, Von. ” bisiknya lagi, sembari melepas kacamata saya yang minus tujuh.
Lantas ia naik ke ranjang serta memeluk saya dari belakang. Awal mula saya gemetar serta takut mengingat kalau Jenny yaitu seseorang anggota mafia, ditambah juga perasaan rikuh lantaran dipeluk sesama wanita. Saya berusaha untuk berontak dengan cara halus. Tetapi ia tetaplah memeluk pinggang saya serta berbisik di kuping kiri, “Jangan takut, Von. Nikmati saja. ”
Saya cuma dapat diam serta coba nikmati. Ia lantas buka satu persatu kancing pakaian saya yang terdapat dibagian belakang, hingga punggung saya betul-betul terbuka dihadapannya. Dengan lembut juga ia melepas kaitan BH di punggung saya. Lantas merasa tangannya yang halus memijat serta mengelus punggung saya. Hangat serta lembut.
“Punggung anda halus sekali, Von. ” bisiknya, “Pasti anda rawat dengan baik, ya? Hmm? ” Ia lantas membelai rambut saya yang lurus serta panjang sebahu, diungkapkannya ke samping, lantas lagi-lagi ia memberikan pujian pada saya, “Tengkuk anda bagus, saya terangsang banget ngeliatnya, bisa saya cium? ”
Tanpa ada menanti jawaban saya, ia segera menciumi leher serta tengkuk saya. Saya memejamkan mata rasakan kehangatan itu. Kehangatan yang belum pernah saya rasakan sepanjang hidup, lantaran saya belum pernah meskipun berpacaran. Ciumannya menyebar kemana saja, ke dagu saya, rahang, telinga, aahh rasa-rasanya geli sekali, tetapi bikin saya jadi lupa daratan, serta menyerahkan diri kepadanya. Tangannya mulai meraba-raba ke balik pakaian saya, mengelus-elus perut saya, sembari mulutnya selalu membisikkan kalimat indah memberikan pujian pada keindahan badan saya.
Ohh, saya tidak paham apa yang dikerjakannya dibawah sana, namun rasa-rasanya sungguh nikmat. Saya terhentak-hentak merasakannya, muka saya meringis keenakan, menggeliat-geliat untuk menahan rasa nikmat yang mengagumkan ini. Saya seperti bingung, berupaya mencapai serta mencengkeram apa pun yang bisa saya capai, sprei, bantal, tiang ranjang, apa pun. Sesaat mulut Jenny dibawah sana keluarkan bunyi berkecipak.
Kemaluan saya merasa seperti digosok keras-keras oleh benda lunak serta lembab, enak sekali. Setiap gesekannya merasa nyetrum ke semua tubuh ini. Kepala saya terangkat-angkat dari ranjang, paha saya menekan kepala Jenny. Tiak lama lalu, Jenny memasukkan jarinya ke lubang kemaluan saya. Uhh, ketika yang sama, saya meraih klimaks kesenangan.
“Aduhh Jennyy.. Oughh.. ” terasanya ada yang menyembur keluar dari kemaluan saya, demikian deras serta nikmat.
Saya hingga meremas sendiri dua susu saya untuk memberi kesenangan, sampai semua prima. Lantas saya terasa lemas sekali. Terkulai serta terengah-engah kelelahan. Saya memejamkan mata, nikmati beberapa bekas orgasme pertama yang saya rasakan. Merasa Jenny meninggalkan ranjang, mengecup kening saya, lantas saya tertidur di dalam kesenangan maha dahsyat ini.
Pagi selanjutnya, saya baru terbangun dari tidur panjang saya yang demikian nikmat. Tubuh merasa fresh serta nyaman, walau ke-2 kaki saya merasa agak pegal. Saya bangkit duduk, serta cepat-cepat menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang saya. Bagaimana tidak, di ruang itu, Jenny tak sendiri berbarengan saya. Wanita itu terlihat tengah bicara dengan seseorang pria wajahnya Italia. Bukanlah satu diantara centengnya tempo hari, namun seseorang pemuda ganteng berkaca mata, dengan dandanan yang rapi.
“Wah, pacarmu telah bangun rupanya. ” tutur si pria Italia waktu lihat saya terbangun.
“Ya, serta itu bermakna waktumu untuk pergi. ” jawab Jenny dengan dialek British yang sangat prima.
“Oke, saya pergi. ” jawab pria Italia itu sembari tersenyum.
“Hey, satu waktu saya menginginkan bertukar tempat denganmu! ” seru pria itu sembari memandang ke arah saya dengan senyuman ramah.
“Kalau saya ingin, kelak malam dapat juga! ” canda Jenny sembari menepuk bahu pria itu, mengantarkannya keluar kamar.
Saya agak tertegun 1/2 geram tahu Jenny membiarkan orang lain masuk ruang waktu saya masihlah tertidur dalam keadaan telanjang bulat. Tetapi saya seperti tak tega mengungkapkan perasaan itu. Saya lihat Jenny membawa nampan diisi sarapan pagi ke dekat ranjang serta mempersilakanku makan. Saya menurut saja, lantaran memanglah permainan semalam membuatku kelaparan pagi ini. Jenny berdiri bertumpu di dinding sembari melihatku makan.
Pagi itu ia terlihat fresh serta cantik. Rambutnya yang pendek seleher diikat ke belakang sampai tengkuknya yang tahap tampak demikian indah. Ia kenakan kaos T-Shirt hijau tua serta celana pendek putih, menunjukkan kaki-kakinya yang bagus itu. Ia melihatku makan dengan tatapan bahagia. Sejujurnya, saya sangat terharu dengan sikap manisnya padaku.
“Von.. ” katanya lirih.
“Kenapa, Jen? ”
“Maaf ya, semalam saya kurang ajar sama anda. ” sambungnya, “Maaf juga soalnya saya biarin rekanku tadi masuk. ”
“Nggak apa-apa Jen. ” jawab saya berupaya maklum, “Semalam itu.. indah sekali. ”
Jenny tersenyum. Senyum yang ramah, hangat, serta bersahabat. Tetapi.., cuma itu. Senyuman seseorang teman dekat, bukannya senyuman mesra seseorang kekasih. Lihat senyumnya, saya terasa agak patah hati juga, lantaran telah terasa jatuh cinta padanya. Saya terdiam, serta tanpa ada sadar air mata mengalir di pipi saya.
“Aku tahu apa yang ada di hati anda, Von. ” tutur Jenny membaca kondisi.
“Tapi saya juga ngerti, anda tidak mungkin saja dapat hidup bareng saya. ” lanjutnya lagi.
Ia lantas mengambil langkah hampiri saya serta mengangkat nampan sarapan pagi dari pangkuan saya. Sesudah menempatkan nampan itu di meja, ia kembali naik ke ranjang di segi saya.
“Aku sayang sama anda, kok! ” katanya sembari mengecup kening saya, “Itu penyebabnya saya tidak menginginkan anda ikut serta jauh di hidupku. ”
Saya memeluknya erat-erat, tanpa ada tahu mesti berkata apa pada seseorang yang barusan ‘memerawani’ saya ini.
“Kamu ngerti maksudku kan? ” tanyanya lagi dengan penuh berharap.
Awal mulanya saya terasa sedih. Saya betul-betul menginginkan melupakan hidup saya bersamanya selalu. Tak pernah ada orang yang bikin saya terasa demikian aman, tenang, nyaman, serta bikin saya terasa demikian di cintai serta dikagumi. Cuma dia, Jenny, yang memberi semua pada saya. Tetapi saya lihat seputar, almari bajunya kebetulan terbuka, menunjukkan gaun-gaunnya yang mahal serta berwarna warni, sederet sepatu sebagai yang diimpikan setiap wanita, laptop serta hp yang tunjukkan tingkat kemapanan hidupnya, lantas.. ah.. pistol keperakan itu.
Bagaimana saya bisa hidup damai serta bermesraan dengan seseorang yang berkeliaran di lorong-lorong gelap London dengan menenteng pistol kemana saja? Yang bergaul dengan preman-preman serta penjahat? Yang dengan entengnya mengobrak-abrik kantor atau toko seorang lantaran telat membayar tagihan? Semua berkecamuk dalam otak saya.
Tetapi, hey. Ivon saat ini telah dewasa! Fikir saya. Saat ini saya lebih yakin diri, serta sadar kalau hidup ini indah serta tak menakutkan. Mungkin saja saya dapat setegar Jenny, atau kian lebih dia? Mungkin saja juga saya bisa temukan kesempatan lain yang bikin hidup saya lebih bermakna dari pada sebatas karyawan admin di satu perusahaan kecil? Rasa cinta serta mengagumi akan bercampur dengan haru serta terimakasih berkecamuk di dada saya. Tetapi saya juga sadar, bila saya mesti meneruskan kehidupan saya tanpa ada Jenny.
“Hey, cool dong! ” hiburnya, “Kita dapat ketemu lagi kapan-kapan bila anda ingin. Waktu berlibur seperti gini kan dapat pula? ”
Saya coba tersenyum nakal. Ia membalas senyuman saya dengan nakal juga. Iseng-iseng saya mencapai serta meremas susunya yang kanan, sembari menjentik-jentik putingnya dari balik pakaiannya. Jenny memandang saya. Pelan-pelan matanya meredup, lantas 1/2 memejam. Saya melepas susunya dari tangan saya.
“Kok berhenti? ” tanyanya sembari kembali buka mata.
“Emang bisa? ” bertanya saya.
“Kenapa tidak? ” bertanya Jenny balik sembari menanggalkan bajunya sendiri.
Jenny selekasnya telanjang bulat berdiri di samping ranjang. Indah sekali badannya, kulitnya halus mulus serta putih bersih. Kakinya panjang indah, begitupula lehernya. Berwajah sangat cantik, terkesan cerdas tetapi dingin. Ke-2 buah susunya tak besar, tetapi kencang serta indah. Puting-putingnya berwarna merah jambu kecoklatan, serta terlihat agak terangsang oleh sentuhan saya tadi. Saya duduk di segi ranjang, muka saya pas menghadap ke dua putingnya. Tanpa ada banyak basa-basi, saya mendekap pinggangnya, serta menghisap puting susunya. Mmm.., puting susu hangat itu merasa lucu dalam mulut saya. Saya jilati, saya hisap-hisap.
Terdengar rintih erangan Jenny setiap saat lidah saya menyentuh puting itu. Merasa sekali puting itu mengencang, membengkak dalam mulut saya. Kami sharing kehangatan dengan begitu mesra pagi itu, serta peristiwa itu pernah terulang sekian kali lagi di hari-hari sesudahnya, hingga lalu saya merasakan apartemennya kosong serta teleponnya tak diangkat. Ia betul-betul sudah pergi jauh dari kehidupan saya. Mungkinkah ia sudah meraih cita-citanya? Mungkinkah ia telah ada 2 mtr. dibawah tanah? Saya tidak paham. Saya tetaplah bakal mengenangnya, lantaran dia yaitu yang pertama untuk saya.
Segera Daftarkan Diri Anda dan Nikmati Berbagai Promo dan Sensasi Bonus Nya Hanya di sini Website Judi Bola Online Aman dan Terpercaya.